Guru Gagal Sertifikasi Akan Dialihtugaskan

Wah,… bagaimana nih pak menteri… bahaya sekali kalau anak kita sampai diajarkan oleh guru yang tidak kompeten… itu kalimat bapak di media kompas sebelumnya..

http://edukasi.kompas.com/read/2011/12/11/23473524/Guru.Gagal.Sertifikasi.Akan.Dialihtugaskan

BENGKULU, KOMPAS.com – Guru di Provinsi Bengkulu yang tidak lulus ujian sertifikasi dan belum berpendidikan sarjana akan dialihtugaskan untuk memaksimalkan sumberdaya manusia di daerah itu.

“Semua guru yang tidak lulus ujian sertifikasi hingga waktu yang ditentukan akan kami alihtugaskan untuk memaksimalkan sumberdaya manusia di daerah ini,” kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu Yasarlin, di Bengkulu, Minggu (11/12/2011).

Ia mengatakan, hal itu dilakukan untuk memotivasi para guru dalam meningkatkan kualitas mereka sehingga lulus ujian sertifikasi. Salah satu syarat untuk mengikuti ujian sertifikasi yakni menyelesaikan pendidikan sarjana.

“Pada 2014, semua guru di Provinsi Bengkulu diharapkan sudah menyelesaikan pendidikan sarjana dan lulus ujian sertifikasi,” katanya.

Saat ini, guru yang bertugas di Provinsi Bengkulu sebanyak 31.713 dan baru sekitar 20 persen yang telah lulus ujian sertifikasi. “Guru yang lulus sertifikasi berhak mendapatkan tunjangan sebesar satu kali gaji pokok per bulannya,” katanya.

Meski telah lulus ujian sertifikasi, namun kelulusan sertifikasi guru bersangkutan bisa dibatalkan bila kualitasnya dinilai menurun berdasarkan evaluasi dan jam mengajarnya kurang dari 24 jam dalam satu pekan.

“Jumlah guru di daerah ini yang telah menyelesaikan pendidikan sekitar 13.000 orang, berpendidikan diploma tiga sebanyak 1.164 orang, berpendidikan diploma dua sebanyak 9.271 orang,” katanya.

Selain itu, ada pula guru yang berpendidikan SMA sebanyak 6.877, berpendidikan SMP sebanyak 143 orang dan SD sebanyak 97 orang.

“Guru berpendidikan SD, SMP dan SMA diterima untuk mengajar karena terjadi kekurangan tenaga pengajar di daerah terpencil. Bila hanya guru berpendidikan sarjana yang mengajar maka murid akan sering tidak belajar di sekolah,” katanya

Tak Lulus Sertifikasi, Ratusan Guru Demo Panitia Sertifikasi

Ini guru yang tidak sadar… sudah jelas : ANDA TIDAK KOMPETEN…hargai haisl tes…

http://edukasi.kompas.com/read/2011/12/30/08321413/Tak.Lulus.Sertifikasi.Ratusan.Guru.Demo.Panitia.Sertifikasi

MALANG, KOMPAS.com- Sekitar 300 guru, sebagian besar dari mereka guru senior, peserta sertifikasi guru pada rayon 115 yang lokasi sertifikasinya di kampus Universitas Negeri Malang (UM) mendatangi kampus itu, hari Kamis kemarin (29/12/2011). Mereka berdemonstrasi untuk memprotes hasil ujian sertifikasi oleh Panitia Sertifikasi Guru (PSG) yang tidak meluluskan para guru tersebut. PSG rayon 115 meliputi para guru dari 11 kota dan kabupaten se-Jawa Timur.

Para guru berdatangan dari berbagai daerah area rayon 115. Nama mereka tercantum di situs web panitia sebagai peserta yang tidak lulus. Mereka mula-mula berkumpul di depan gerbang kampus UM, lalu berjalan kaki masuk ke dalam kampus menuju gedung kantor PSG UM. Mereka mempertanyakan sejum lah keanehan, yang dinilai menjadi penyebab ketidaklulusan.

Suraji (50-an), guru asal Ngawi menjelaskan, dirinya mengalami sendiri keanehan atas hasil sertifikasi. ” Saya tidak lulus ujian sertifikasi 2011. Artinya, saya baru boleh ikut ujian sertifikasi lagi 2013, dan tidak boleh ikut ujian sertifikasi 2012. Namun, sebelum pengumuman hasil ujiansertifikasi 2011 muncul, sudah muncul daftar peserta ujian sertifikasi 2012. Anehnya, nama saya ada disitu. Lebih aneh lagi, saya kemudian tidak lulus ujian sertifikasi setelah pengumumannya muncul. Jadi kami lalu bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya prosedur munculnya nama-nama, karena seolah-olah ada rekayasa yang mengatur jatah lulus dan tidak lulus,” katanya.

Sejumlah keanehan lain diungkapkan para guru, yang menyebutkan ada guru yang meninggal setelah ujian sertifikasi sebelumnya tidak lulus. Pada peserta yang tidak lulus, ada peluang mengikuti ujian susulan atau remidy (perbaikan). Setelah ujian susulan selesai dan hasilnya diumumkan, nama orang yang sudah meninggal ini muncul dalam daftar ujian susulan, dan ada nilai hasil ujiannya. Ini terjadi pada nama seorang guru asal Kabupaten Madiun (Jawa Timur)

“Aneka cerita aneh ini mewarnai proses sertifikasi tersebut, yang memancing protes para guru. Ada peserta yang absen bisa lulus, ada peserta yang dalam keadaan sakit bahkan cuci darah bisa lulus, yang membuat kecewa pada peserta yang sehat dan mengikuti sertifikasi secara penuh,” tutur Evy, guru SMA Negeri 5 Malang.

Ada juga kisah tentang diselenggarakannya sebuah seminar di Madiun, yang memberi janji kelulusan pada peserta seminar. Ini menjadikan peserta seminarnya menjadi banyak. Namun kemudian hasilnya ada peserta yang lulus sertifikasi, dan ada pula peserta seminar yang tidak lulus sertifikasi. Masalahnya pula, problem sejenis ini tidak terjadi pada PSG rayon lain, misalnya yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), ungkap Ny Evy. Di antara para guru menyebutkan, banyak dari guru yang tidak lulus sertifikasi itu bergelar master dan doktor, sehingga menimbulkan tanda tanya.

Wakil guru kemudian diterima oleh Rektor UM Prof Dr Suparno, yang tidak muncul di lokasi demonstrasi. Perundingan hingga Kamis sore menghasilkan janji dari pihak UM sebagai instansi PSG Rayon 115 untuk mengkaji hasil kelulusan ujian sertifikasi dengan memeriksa hasil pekerjaan dari ujian sertifikasi kembali. Para guru demonstran ini kemudian membubarkan diri.

Uji Kompetensi untuk Mengukur Profesionalisme Guru

http://edukasi.kompas.com/read/2012/01/14/08535488/Uji.Kompetensi.untuk.Mengukur.Profesionalisme.Guru

JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tetap akan melaksanakan uji kompetensi bagi guru sebagai syarat mendapatkan sertifikasi. Meski pun, hingga saat ini, kalangan guru melakukan penolakan untuk mengikuti uji kompetensi. Menurut rencana, uji kompetensi akan dilaksanakan secara serentak pada Februari 2012.

Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP) Kemdikbud Syawal Goeltom mengatakan, uji kompetensi yang diterapkan kepada para guru untuk meraih sertifikasi tidak melanggar perundangan seperti yang dilontarkan oleh Ketua PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistyo.

Menurut Syawal, profesionalisme dalam kinerja akan menjadi tuntutan setelah guru diakui sebagai profesi.

“Ya, inilah tuntutan terhadap kinerja guru sejak diakui sebagai profesi unggulan,” terang Syawal, di Gedung Kemdikbud, Jakarta, Jumat (13/1/2012).

Ia mengungkapkan, tujuan uji kompetensi ini untuk mengetahui profesionalisme seorang guru. Ada dua poin penting yang akan diujikan dalam uji kompetensi nanti, yaitu penguasaan bahan ajar dan metode pedagogik yang digunakan dalam perancangan pembelajaran. Sebelumnya, PGRI menyatakan kekhawatiran bahwa uji kompetensi ini tidak dapat dilalui guru-guru yang senior yang masa mengajarnya sudah panjang.

“Jangan khawatir, saya kira guru junior mau pun senior mampu menyelesaikan soal-soal dalam uji kompetensi. Seharusnya semua bisa, karena itu kan materi yang mereka ajarkan sehari-hari,” ujarnya.

Syawal menjelaskan, meski amanat Undang-Undang (UU) menyebutkan sertifikasi guru selesai di 2015, bukan berarti seluruh guru yang mengikuti uji kompetensi akan lulus dan mendapatkan sertifikasi.

Tahun ini, kuota sertifikasi guru yang tersedia hanya 250 ribu dari sekitar 300 ribu guru peserta uji kompetensi. Guru yang mengikuti dan tidak lulus uji kompetensi tahun ini, dapat kembali mengikuti ujian di dua tahun berikutnya.

“Amanat UU mewajibkan semua guru ikut seleksi sertifikasi, dan hanya meluluskan yang layak. Mereka yang tidak lulus istirahat dulu setahun dan tetap mengajar. Dua tahun berikutnya baru ikut lagi. Ini aspek keadilan demi memberikan kesempatan kepada yang lain,” papar Syawal.

Syawal menambahkan, ruh uji kompetensi adalah untuk membenahi empat lapisan yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru. Mulai dari perekrutan mahasiswa di perguruan tinggi, proses pendidikan mereka, rekrutmen guru hingga pengurusan kepangkatan dan distribusi guru yang selama ini dinilai masih bermasalah.

Ia menambahkan, pada 2013 mendatang, kinerja guru akan dinilai sesuai dengan Peraturan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara Reformasi dan Birokrasi No 16/2009. Sesuai dengan tuntutan guru yang ingin diakui secara profesional, maka standar kerja mereka pun harus ada.

“Mereka yang meminta (untuk diakui profesional), maka harus ada standar kinerja mereka. Ini bisa diukur dari uji kompetensi dan observasi,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua PB PGRI, Sulistyo, menolak uji kompetensi karena tidak diwajibkan dalam PP No 74/2008 pasal 12 yang menyebutkan Guru Dalam Jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik S1 atau D4 dapat langsung mengikuti pelatihan untuk memperoleh sertifikat.

“Uji kompetensi membuat guru-guru stres karena merasa dipersulit dan guru yang tua merasa malu ketika mereka tidak lulus ujian,” kata Sulistyo.

Adapun beberapa syarat untuk mendapatkan sertifikasi adalah guru yang bersangkutan telah bergelar sarjana (S1), atau telah berusia minimal 50 tahun dan dalam masa kerja minimal 20 tahun.

Wah siap-siap mangkat dari SMA Negeri 8 nih, hehehhe

Entah mengapa pikiran tersebut ada. Tetapi memang harus ada. Selain saya bukan siapa-siapa, saya juga bukan PNS di sekolah yang membesatan saya ini. SKB 5 menteri yang mengharuskan guru PNS untuk mengajar 24 jam, berimbas kepada pada honorer. Kondisi ini menyebabkan akan banyakmigrasi guru dari sekolah A ke B, hanya untuk memenuhi target 24 jam. Ingat target jam. Kondisi ini tentunya diasumsikan semua guru PNS sudah dinyatakan setara. Terutama kompetensinya. Untuk SMA Negeri 8 Jakarta, rasanya akan menerima guru-guru di sekitaran Tebet. SMA Negeri 26, SMA Negeri 37 dan SMA Negeri 43. Tentunya untuk memenuhi 24 jam tersebut. Saya yakin di sekolah-sekolah tersebut jumlah kelasnya tidak sebanyak di SMA Negeri 8 Jakarta, bayangkan 90% IPA dan hanya 10% IPS.

Saya tidak berhak marah-marah, dnegki atau iri. Ini kebijakan dari negara ini. Ada positifnya;
1. guru menjadi tertantang untuk mengajar
2. akan menimbulkan gairah tinggi dalam mengajar
3. dan lain-lain,.. yang positf yaa

Tetapi ada juga sisi buruknya, seperti :
1. Jelas-jelas para punggawa pendidikan di dikbud menyatakan ada kasta sekolah, apakah para peserta didik mau menerima guru dari sekolah lain ? Mereka masuk ke sekolah tertentu karena mutunya, yang salah satunya karena racikan juru ajar guru sekolah tersebut.
2. Apakah program ini sudah disosialisakan ke para siswa atau orang tua, karena mereka punya kepentingan.
3. Jangan-jangan ini coba-coab lagi,… untuk mengangkat peringkat sekoplah-sekolah lain yang tiadk naik-naik karena sistem pembinaan yang salah di dikbud
4. alasan lain yang negatif lah,..

Untungnya saya tetap berpikir positif, menterinya kan orang pinter, analis di mendikbud juga para pakar, pastinya mereka telah memprediksi akan seperti apa kondisi pendidikan di Indoensia.

Sekolah Dirancang Untuk Menghasilkan Orang-orang Gagal

http://www.forplid.net/artikel/80-sekolah-dirancang-untuk-menghasilkan-orang-orang-gagal-.html

Oleh : ADI W.GUNAWAN

Judul di atas terkesan sangat provokatif, bukan? Saya sengaja membuka tulisan ini dengan statement yang keras dan menggugat. Namun jangan salah mengerti. Saya bukan tipe orang yang anti pendidikan formal. Saya sendiri adalah seorang pendidik, lebih tepatnya Re-Educator, yang sangat concern dengan kondisi pendidikan di tanah air.

Apa yang saya tulis di bawah ini merupakan kristalisasi hasil belajar saya atas pemikiran para pakar pendidikan seperti Paulo Freire, Ivan Illich, Drost, Everett Reimer, John Holt, Alfie Kohn, Neil Postman, dan William Glasser, ditambah dengan perenungan dan pengalaman pribadi.

Proses pendidikan atau lebih tepatnya pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini sangat jauh dari praktik pembelajaran yang manusiawi, yang sesuai dengan cara belajar alamiah kita. Konsep “belajar” yang diterapkan telah sangat usang dan merupakan warisan dari jaman agraria dan industri.

Kembali saya ulangi, masalah utama yang ada dalam sistem pendidikan kita adalah sekolah memang dirancang untuk menghasilkan anak gagal. Ini semua sebagai akibat dari sistem pengujian kita yang menggunakan referensi norma, yang sangat mengagungkan penggunaan kurva distribusi normal atau kurva lonceng (Bell Curve). Kurva distribusi normal ini mengharuskan ada 10% anak yang prestasinya rendah, 80% rata-rata, dan 10% yang berprestasi cemerlang.

Bulan lalu dalam dua kesempatan yang berbeda saya memberikan pelatihan untuk para kepala sekolah SD Negeri dan Pengawas (tingkat TK dan SD) se kabupaten/kota Jawa Timur. Saat bertanya, “Bapak/Ibu, jika anda punya 40 orang murid dalam satu kelas, dan saat ujian semua dapat nilai 100, anda sukses atau gagal?”. Bak paduan suara yang sangat kompak, serentak mereka menjawab, “Gagal…”. “Lho, koq gagal”, tanya saya. “Ya Pak, kalau semua dapat 100 maka pasti soalnya terlalu mudah, atau gurunya yang tidak bisa membuat soal”, jawab mereka kompak.

Saya lalu mengejar dengan pertanyaan, “Bapak dan Ibu, misalnya anda diminta mengajar 40 orang anak memasak nasi goreng sea-food spesial. Kalau semua belum bisa (saya tidak menggunakan kata “tidak bisa”) memasak nasi goreng seperti yang anda inginkan, apa yang akan anda lakukan?”. “Ya, kita akan mengulangi lagi sampai si anak benar-benar bisa”, jawab mereka. “Sekarang, kalau semuanya berhasil memasak nasi goreng yang sangat enak, anda berhasil atau gagal?”, tanya saya lagi. “Wah, kalau semuanya bisa, ini berarti kita sangat berhasil Pak”, jawab mereka. “Kalau begitu apa bedanya antara mengajar anak memasak nasi goreng dengan mengajar anak suatu pelajaran, misalnya matematika atau bahasa Inggris?”, kejar saya lagi. Kali ini semuanya diam dan tidak bisa berkomentar.

Saya lalu menjelaskan mengenai kurva distribusi normal yang sebenarnya, kalau menurut pendapat saya pribadi, tidak normal. Mendapat penjelasan ini para peserta akhirnya bisa memahami apa yang saya sampaikan. Saat break saya menemukan satu hal yang sangat menarik. Para kepala sekolah dan pengawas ini sadar bahwa apa yang saya sampaikan itu memang benar dan memang seharusnya demikian cara kita mendidik murid. Namun mereka terikat pada aturan main (baca: sistem pendidikan). Mereka merasa tak berdaya karena bila mereka bersikeras untuk tidak mau mengikuti arus maka mereka akan mendapat kesulitan.

Saya lalu menceritakan keberhasilan kawan saya, Bpk. Danang Prijadi saat mengajar mata kuliah Dasar Filsafat di satu universitas ternama di Surabaya. Ada 3 kelas pararel, masing-masing berisi 40an mahasiswa, dengan dosen yang berbeda. Saat ujian, 95% dari murid di kelas Pak Danang mendapatkan nilai A, sisanya yang 5% dapat nilai B dan C. Hal ini sangat mengejutkan pihak universitas dan dosen lainnya. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi ? Bukankah ini menyalahi kurva distribusi normal? Dan yang lebih ciamik lagi, soal yang diujikan bukan disusun oleh Bpk Danang, tapi disusun oleh tim tersendiri.

Tujuan kita mengajar anak adalah agar anak bisa menguasai apa yang diajarkan, tidak peduli apa cara yang digunakan. Yang penting ujung-ujungnya anak bisa menguasai dengan baik apa yang diajarkan. Kalau cara mengajar yang digunakan di sekolah kita terapkan untuk mengajar anak kita, yang masih kecil, belajar bicara atau berjalan, maka pasti kita akan “shocked” karena ternyata, dengan sistem penilaian yang digunakan di sekolah, anak-anak kita akan masuk kategori anak yang ?idiot?. Mengapa masuk kategori “idiot”? Karena anak-anak kita “gagal” terus. Nilai mereka selalu Do ? Re ? Mi alias 1 , 2, atau 3.

Dalam hampir setiap kasus yang pernah saya temui, bila ada timbul masalah belajar biasanya kita hanya melihat pada sisi anak. Jarang sekali kita melihat dan mencari tahu peran yang dimainkan oleh sekolah dan sistem pendidikan kita hingga masalah muncul. Anak yang dianggap bermasalah biasanya akan diterapi melalui BK (bimbingan konseling) dan kalau masih tidak bisa menjadi anak yang “baik” , anak ini dikeluarkan. Di sini terlihat bahwa sebenarnya anak tidak “Drop Out” tapi “Pushed Out”.

Lalu, apa sih sebenarnya ujian itu? Untuk kondisi saat ini, ujian adalah suatu cara untuk mengetahui kecepatan mengingat kembali (recall), suatu informasi yang telah dihapal sebelumnya (register), dan menggunakan (apply) informasi yang telah diingat kembali untuk menjawab soal ujian, bukan menjawab persoalan hidup. Singkatnya, ujian saat ini hanyalah menguji kemampuan menghapal. Celakanya, sekolah tidak pernah mengajarkan anak didik teknik, cara, metode, atau strategi menghapal yang baik dan benar, yang sesuai dengan cara kerja otak dan pikiran dalam menyerap informasi.

Sistem ujian kita menggunakan sistem closed-book atau buku tertutup. Praktek ini didasari oleh asumsi bahwa kemampuan mengingat suatu pengetahuan jauh lebih berharga dari pada kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Ujian closed-book ditambah lagi murid tidak boleh kerja sama akhirnya sangat membebani anak didik.Tolong jangan salah mengerti. Saya juga tidak setuju bila anak nyontek. Tapi kalau memang bisa mengapa kita tidak mengajarkan cara belajar kolaborasi? Sistem closed-book mempunyai beberapa keburukan lainnya. Cara menguji seperti ini memberikan beban ekstra bagi anak. Anak yang sangat pintar dalam hal aplikasi akan mendapat nilai jelek bila ia lupa rumus atau definisi. Bila kita mengacu pada hirarki kognisi seseorang, sesuai dengan taksonomi Bloom, maka cara ujian seperti ini hanya mengajarkan anak untuk berpikir pada level yang rendah, level menghapal saja. Kita tidak mengajar anak berpikir pada level yang lebih tinggi yaitu analisa, sintesa dan evaluasi.

Jadi, bila kita berbicara mengenai sistem pengujian, kebanyakan yang anak lakukan adalah suatu permainan yang tidak bermutu. Anak hanya belajar menghapal dan membeo. Anak tidak dibenarkan untuk berpikir kreatif dan inovatif. Agar lulus dan selamat, anak harus menjawab seperti yang diajarkan oleh guru dan harus sesuai dengan kunci jawaban yang dimiliki guru. Para pendidik saat ini telah merendahkan martabat dan kemampuan mahluk ciptaan Tuhan. Otak kita, yang memiliki kemampuan yang sangat luar biasa, dirancang untuk berpikir namun sistem pendidikan telah mereduksi fungsi otak hanya sebagai mesin foto kopi.

Setiap kegagalan yang dialami oleh anak di sekolah akan mengakibatkan konsep diri yang buruk. Padahal kita tahu bahwa konsep diri merupakan pondasi untuk keberhasilan di bidang apa saja dalam hidup. Dari pengalaman saya memberikan konseling, saya menemukan bahwa konsep diri yang buruk ini selalu berhubungan dengan berbagai kegagalan yang telah atau pernah dialami saat sekolah. Dan satu hal yang penting yang saya temukan adalah bahwa untuk bisa memperbaiki konsep diri yang sudah terlanjur negatip atau buruk kita perlu mencari dan mengingat kembali berbagai keberhasilan yang pernah kita capai (kisah sukses). Mengutip apa yang Glasser katakan, “Tidak peduli berapa banyak kegagalan yang pernah dilakukan oleh seseorang di masa lalu, tidak masalah apa latar belakang, budaya, warna kulit, latar belakang sosial ekonomi, atau apapun itu, ia tidak akan bisa berhasil hingga ia, melalui suatu kesempatan, mulai mencapai keberhasilan dalam salah satu aspek kehidupan mereka”.

Saya percaya jika seorang anak, tidak peduli apapun latar belakangnya, dapat berhasil di sekolah, maka ia mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil dalam hidupnya. Jika ia merasakan kegagalan dalam proses pendidikannya, baik itu pada tingkat SD, SMP, dan SMA, atau di PT/Universitas, maka kesempatannya untuk berhasil dalam hidup menurun drastis. Kalau kita hubungkan dengan proses pemrograman pikiran, maka semuanya akan tampak sangat gamblang. Anak yang telah terlanjur (diprogram untuk) percaya bahwa ia adalah seorang pecundang, bodoh, tidak bisa, dan selalu gagal, pasti akan menjadi seperti yang ia yakini. It’s a self-fulfilling prophecy.

Sudah saatnya kita mengubah sistem pendidikan kita menjadi suatu sistem yang benar-benar mampu memberdayakan anak kita. Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk bisa membantu mengembangkan semua potensi yang dimiliki olah anak-anak kita, melalui proses pendidikan yang memanusiakan anak manusia.

Lalu bagaimana cara kita untuk bisa membantu anak berkembang? Ada dua hal dasar, menurut Glasser, yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kebutuhan anak. Yang pertama, kebutuhan akan cinta dan mencintai. Yang ke dua adalah kebutuhan akan rasa diri berharga.

Kebutuhan akan cinta dan mencintai ini merupakan hal yang paling mendasar yang perlu didapat oleh anak, dan berlaku sebagai pondasi untuk mencapai sukses. Jika seseorang mampu memberikan dan menerima cinta, dan mampu melakukannya secara konsisten dalam hidupnya, maka sampai pada tingkat tertentu ia bisa dikatakan berhasil.

Sering kali kita berpikir bahwa pemenuhan kebutuhan cinta dan mencintai ini hanya bisa dilakukan di rumah saja. Ternyata keyakinan ini salah. Banyak masalah yang timbul di sekolah, baik itu dalam bentuk murid yang tidak kooperatif, tidak ada motivasi belajar, masalah disiplin, murid yang nakal, dan masalah lainnya, semua berawal dari tidak terpenuhinya kebutuhan mendasar seorang anak yaitu cinta dan mencintai. Anak membutuhkan cinta tidak hanya dari rumah, tetapi juga di sekolah, baik itu dari gurunya maupun dari kawan-kawannya.

Sekolah lebih banyak memperhatikan kebutuhan dasar yang ke dua yaitu rasa diri berharga. Bagaimana sekolah bisa memenuhi kebutuhan rasa diri berharga? Untuk bisa mencapai rasa diri berharga dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan untuk berpikir. Jika seorang anak masuk sekolah dan gagal dalam upaya memperoleh pengetahuan, belajar cara belajar, belajar berpikir yang benar ? berpikir level tinggi, belajar memecahkan masalah, maka kegagalan ini akan terus terbawa hingga anak menjadi manusia dewasa. Orangtua, lingkungan, dan masyarakat tampaknya tidak mampu memperbaiki kegagalan ini.

Dalam proses mengembangkan rasa diri berharga, dengan memiliki pengetahuan, mampu berpikir benar dan memecahkan masalah yang dia hadapi, seorang anak akan mempunyai rasa percaya diri yang kuat untuk belajar memberi dan menerima cinta. Paling tidak seorang anak mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan cinta, saat ia merasa dirinya berharga, sehingga ia dapat bertahan dalam menghadapi penolakkan.

Melalui cinta seorang anak akan mengembangkan motivasi untuk berhasil dan merasa diri berharga. Jika anak tidak belajar untuk bisa memberikan cinta maka anak akan menjadi anak yang sering merasa gagal. Hal ini terlihat pada anak yang terlalu dimanja dan terlalu dilindungi.

Cinta dan rasa diri berharga ini merupakan satu kesatuan yang sering kita hubungkan dengan identitas pribadi. Cinta dan rasa diri berharga dapat dipandang sebagai dua jalan untuk mencapai identitas pribadi yang berhasil. Bagi kebanyakan anak hanya ada dua tempat di mana mereka bisa mendapatkan identitas diri sebagai pribadi yang sukses yaitu di rumah dan sekolah.

Dalam konteks sekolah, cinta dapat diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab sosial. Bila anak tidak belajar untuk bertanggung jawab terhadap sesama, peduli dengan sesama, dan membantu sesama, maka cinta akan menjadi konsep yang lemah dan terbatas.

http://adiwgunawan.com

Uji Kompetensi

Berkaitan erat dengan pernyataan pak Nuh menteri pendidikan dan kebudayaan tentang Uji Kompetensi, rasanya memang harus disetujui. Uji Kompetensi bagi guru adalah sebuah kewajiban. Yang namanya uji kompetensi justru akan menentukan kondisi real sebuah proses.

Saya setuju pak uji kompetensi. Kondisi yang ada, guru PNS sudah menerima sertifikasi sebagai guru pro. Ingat guru pro. Tentunya meraka pasti juga sudah mempunyai kualifikasi yang pro.

Tanpa membicarakan serifikasi yang pernah ada, mau pakai portofolio atau pelatihan pokoknya guru PNS yang sudah menerima tunjangan sertifikasi pasti profesional.

Saya punya usul pak, satu sisi jangan hanya mengesampingkan guru honor dengan tetap menjunjung profesionalitas. Bagaimana kalau semua guru yang mengajar dari SD – SMA baik honor, maupun PNS, baik guru bantu atau guru Yayasan, diadakan uji kompentensi, secara langsung dan terbuka. Sehingga bapak meneteri yang terhormat bisa melihat apakah semua guru honor memang tidak layak atau kah semua guru PNS sudah layak.

Nah nanti buat guru PNS yang gagal,….. baiknya pak menteri yang buat solusi. Karena di media kompas saya kutip nih….”Syarat kedua agar diangkat menjadi guru PNS, lanjutnya, para guru honorer terlebih dahulu harus lulus uji kompetensi. Tanpa uji kompetensi, menurut Nuh, hasil dari pengangkatan dikhawatirkan akan mengorbankan para peserta didik karena berkaitan dengan kualitas pengajar.
“Apa kita rela para siswa diajar oleh guru yang tidak kompeten? Terlebih jika peserta didik itu adalah anak kita. Saya ingin memenuhi harapan mereka, tetapi harus dipenuhi juga syarat utamanya. Jika memenuhi, maka pasti kami angkat karena kita masih membutuhkan banyak guru,” ungkapnya.” http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/28/10112860/Guru.Honorer.Bisa.Diangkat.Jadi.PNS.asal.

Saya menangkap kesan, semua guru honor belum tentu kompeten, lalu bagaimana dengan guru PNS,… apakah pasti kompeten. Ayo pak ketimbang ribut tentang guru dan kebijakannya.. adakan tes… sebuah solusi yang paling aman dan JUJUR.

Guru Honorer Bisa Diangkat Jadi PNS, asal…

http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/28/10112860/Guru.Honorer.Bisa.Diangkat.Jadi.PNS.asal.

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah terus berupaya menjamin kesejahteraan para guru, baik guru pegawai negeri sipil, guru swasta, maupun guru-guru honorer. Oleh karena itu, kata dia, terdapat kebijakan mengenai tunjangan profesi dan bantuan untuk guru nonpegawai negeri sipil (non-PNS).

Akan tetapi, guru-guru non-PNS, khususnya para guru honorer, baru menerima seluruh tunjangan tersebut jika memenuhi dua syarat utama, yaitu kualifikasi dan kompetensi.

“Persoalannya bukan sebatas diangkat atau tidak diangkat, melainkan apakah guru-guru honorer itu memenuhi dua syarat utama,” kata Nuh, akhir pekan lalu di Jakarta.
Syarat kualifikasi, Nuh menjelaskan, apakah para guru honorer sudah menempuh jenjang pendidikan D-4 atau S-1. Jika belum, maka guru-guru honorer tidak akan bisa diangkat menjadi guru PNS karena tersandung oleh undang-undang tentang guru dan dosen, yang mensyaratkan guru PNS harus dan telah menempuh program pendidikan D-4 atau S-1.

Syarat kedua agar diangkat menjadi guru PNS, lanjutnya, para guru honorer terlebih dahulu harus lulus uji kompetensi. Tanpa uji kompetensi, menurut Nuh, hasil dari pengangkatan dikhawatirkan akan mengorbankan para peserta didik karena berkaitan dengan kualitas pengajar.

“Apa kita rela para siswa diajar oleh guru yang tidak kompeten? Terlebih jika peserta didik itu adalah anak kita. Saya ingin memenuhi harapan mereka, tetapi harus dipenuhi juga syarat utamanya. Jika memenuhi, maka pasti kami angkat karena kita masih membutuhkan banyak guru,” ungkapnya.

Untuk mempersiapkan guru yang bermutu, saat ini ada sekitar 3.500 calon guru yang tengah dididik secara khusus. Para calon guru tersebut adalah mereka para mahasiswa semester ketujuh dan kedelapan yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Mahasiswa para calon guru tersebut adalah mereka yang mendapatkan beasiswa setelah lolos serangkaian tahap seleksi.

“Mahasiswa para calon guru tersebut telah kami asramakan agar pendidikannya lebih optimal, layak, dan siap diterjunkan. Kenapa kami ambil mahasiswa semester akhir? ini karena mereka akan segera lulus, dan kita sudah terdesak oleh kebutuhan,” kata Nuh.

Peringkat Sekolah Tahun 2011 Versi Diknas di Majalah Hai


Saya baru baca hari ini di blognya radira, ternyata SMA NEGERI 8 JAKARTA, menurut versi Diknas yang dirilis oleh Majalah Remaja Hai tidak masuk peringkat nasional. Semoga ini menjadi cambuk buat kita untuk kedepannya.. Tetap semangat. Yakini kita mampu membuat perbedaan tahun ini.

http://radirablog.blogspot.com/2011/06/35-sma-terbaik-se-indonesia-tahun-2011.html

Definisi dari sekolah terbaik itu ngga hanya sekolah yang unggul di bidang prestasi akademik atau nonakademik, tapi juga harus bersih lingkungan, suasana belajar dan siswanya yang asik, terutama tenaga pendidiknya (guru) dan sarana-prasarananya sudah sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Ini adalah 35 SMA terbaik di Indonesia di Tahun 2011 ini *versi Diknas :
• SMAN 3 Bandung
• SMA Taruna Nusantara
• SMAN 1 Denpasar
• SMAN 4 Kendari, Sulawesi Tenggara
• SMA Plus Riau
• SMAN 1 Padang
• SMAN 3 Yogyakarta
• SMAN 3 Malang
• SMAN 1 Bogor
• SMAN 1 Purwokerto
• SMA Labschool Jakarta
• SMA Al Azhar BSD, Tangerang
• SMA Al Azhar Kelapa Gading
• SMA 81 Jakarta
• SMAN 5 Surabaya
• SMAN 5 Bandung
• SMAN 1 Garut
• SMAN 1 Tasikmalaya
• SMAN 1 Purwakarta
• SMAN 3 Semarang
• SMAN 5 Mataram, NTB
• SMAN 4 Denpasar
• SMAN 1 Samarinda
• SMAN 1 Magelang
• SMAN Regina Pacis Surakarta
• SMAN 2 Temanggung, Jawa Tengah
• SMAN 3 Surakarta
• SMAN 1 Kediri, Jawa Timur
• SMAN 1 Sooko, Mojokerto
• SMAN 2 Mojokerto
• SMAN 1 Pamekasan, Jawa Timur
• SMAN 1 Boyolangu, Jawa Timur
• SMA 1 Way Jepara, Lampung
• SMA Santo Petrus, Kalimantan Barat
• SMAN 2 TinggiMoncong, Gowa, Sulawesi Selatan

Apakah SNMPTN Undangan Harga Mati Buat Saya ?

http://www.ptn-online.com menulis sebagaimana kita ketahui, kuota dari SNMPTN undangan ini cukup besar sehingga ini dapat menjadi peluang besar bagi siswa-siswi SMA untuk dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri.

Berdasarkan informasi yang kami peroleh, terdapat beberapa perihal SNMPTN Undangan:

Pendaftaran SNMPTN Undangan akan dilakukan pada 1 Februari sampai 12 Maret 2012
Pengumuman SNMPTN Undangan 28 Mei 2012
Sekolah terakreditasi A memilki kuota pendaftaran 50% siswa terbaik
Sekolah terakreditasi B memilki kuota pendaftaran 30% siswa terbaik
Pemilhan program studi 2 ptn dan masing-masing 2 program studi (total 4 prodi)
Kriteria penilaian: Konsisten peringkat sekolah untuk semester 3, 4 , 5
Syarat sekolah asal: Sekolah tersebut diundang (ada dalam database SNMPTN)
Pemeringkatan siswa IPA/IPS/Bahasa nilai kognitif matapel yang diujikan di UN

Berikut ini adalah jawaban dari admin ptn-online kepada para penanya di http://www.ptn-online.com

Untuk seleksi SNMPTN Undangan prosesnya agak lebih kompleks. Perihal jumlah alumni dan kualitas alumni dari sekolah kamu yang ada di universitas terkait juga turut diperhitungkan. (jadi, berharap aja kakak2 kelas kamu yang masuk PTN favorit punya prestasi disana).

Selain itu, nilai2 yang ada pada rapotmu harus baik secara komprehensif untuk semua mata pelajaran, jadi jika hanya tinggi di bidang pelajaran tertentu saja itu memiliki kemungkinan yg besar untuk tidak lolos.Kalau adanya persaingan dengan fakultas yang sama, kemungkinan diterima lebih kecil dibanding memilih fakultas yang beragam. Untuk SMA daerah, pemrioritasannya tidak dapat dipastikan, namun, sejauh ini, harus diakui bahwa universitas besar seperti UI banyak diisi oleh anak dari SMA unggulan di jakarta, sedangkan ITB diisi oleh sebagian besar pelajar SMA ungulan di Bandung.

Selama kulitas sekolah anda terjamin dan alumninya punya pengaruh besar di PTN yang bersangkutan, kenapa tidak?

ada beberapa hal yang jadi pertimbangan dalam seleksi berkas SNMPTN Undangan, diantaranya:
Nilai kumulatif yang baik secara komprehensif untuk semua mata pelajaran
Peringkat sekolah di mata kementrian pendidikan nasional
Prestasi Alumni dari SMA terkait di PTN yang bersangkutan

sebenarnya untuk tahun 2011 ada 7 jurusan, namun, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, hanya pilihan 1 – 3 yang punya kemungkinan lolos.

semua pelajaran disini tentunya pelajaran-pelajaran yang dimasukkan dalam form pengajuan snmptn jalur undangan saja, jadi tidak harus setiap mata pelajaran yang ada pada sebuah sekolah tertentu.
Untuk yang telah diterima di snmptn undangan, sebaiknya tidak mengikuti tes ptn manapun karena, jika si pengaju jalur undangan tidak mengambil jurusan yang dipilihnya, secara otomatis sekolah yang bersangkutan akan dikurangi bahkan dihapuskan jatah snmptn undangannya oleh universitas yang bersangkutan.

Berdasarkan pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya, sebenarnya tidak diketahui secara pasti kuota siswa yang lolos udangan untuk tiap sekolah. Namun, biasanya untuk sekolah SMA reguler tingkat atas (kuota peserta 50%) kemungkinan diterima di satu fakultas antara 2-1 orang saja. Jadi, persaingan biasanya ada pada pendaftar satu fakultas tertentu untuk tiap sekolah.