Dare dreamer atau day dreamer

Dare Dreamer atau Day Dreamer?

“Happy are those who dream dreams and are ready to pay the price to
make them come true.” – Leon Joseph Cardinal Suenens

Baru-baru ini, saya menyaksikan tayangan biografi Presiden Amerika
Serikat yang baru terpilih, Barack Hussein Obama. Menilik perjalanan
hidupnya, sangat sulit terbayangkan bagaimana anak yang ditinggal
oleh ayah kandungnya sejak kecil dan sempat berpindah tempat
tinggal, termasuk pernah tinggal di Indonesia ini, akhirnya menjadi
orang nomor satu di negara adidaya Amerika Serikat.

Dengan darah campuran antara ibu kulit putih dan ayah keturunan
Afrika, membuatnya sempat mengalami kebingungan identitas. Bahkan,
pada usia awalnya, Obama sempat berkenalan dengan narkoba. Namun,
segalanya mulai berubah tatkala ia diterima di Harvard Law School
dan mulai melihat titik terang dalam hidupnya.

Mulailah Obama berani bermimpi, setahap demi setahap. Mulai dari
masuk ke Kongres, menjadi senator hingga menjadi presiden. Sebuah
perjalanan yang hanya bisa dilewati dengan berpegang teguh pada
mimpinya. Pada diri Barack Obamalah, kita melihat bagaimana pidato
Martin Luther King yang terkenal, “I have a dream”, betul-betul
terwujud!

Daring dream atau day dream?

Sudah begitu banyak buku, seminar, artikel yang mengajarkan kepada
kita soal pentingnya menetapkan sebuah impian. Namun, pertanyaan-nya
yang terpenting sekarang: apakah yang kita miliki sekadar mimpi (day
dream) atau itu merupakan mimpi berani yang harus dicapai (daring
dream)?

Dalam pembelajaran selama hidup ini, dari buku – buku yang saya
baca, seminar yang penah saya ikuti, termasuk belajar dari kisah
hidup Barack Obama, saya mendefinisikan ada lima perbedaan kualitas
antara yang berani bermimpi (daring dream) dan sekadar bermimpi (day
dream).

Pertama, orang yang berani bermimpi menggantungkan kepada disiplin
diri untuk meraihnya, sedangkan seorang pemimpi menggantungkan
kepada keberuntungan.

Seorang yang berani bermimpi, umumnya punya disiplin yang kuat untuk
merealisasikan mimpinya.

Ambil contoh Barack Obama, tatkala kalah dari Bobby Rush dalam
pemilihan Partai Demokrat untuk US House of Representative pada
2000, dia tidak menyerah dan masih setia mewujudkan mimpi-mimpinya.
Dengan kepala tegak dan penuh disiplin, Barack Obama tetap
melanjutkan perjuangan prinsip-prinsipnya. Itulah salah satu
disiplin mewujudkan mimpi yang ditunjukkan Barack Obama.

Dalam hal ini, benarlah apa yang dikatakan motivator dunia, Jim Rohn
bahwa, “Discipline is the bridge between goals and accomplishment. ”
Jelas, hanya kedisiplinanlah yang menjadi kunci atau jembatan untuk
merealisasikan setiap mimpi kita.

Kedua, pribadi yang berani bermimpi tetap terfokus pada proses
pencapaian, sedangkan pemimpi selalu terfokus kepada tujuan akhir
saja, serta enggan melewati prosesnya.

Lihatlah Barack Obama. Ia memulai proses menjadi kandidat presiden
dengan tertatih-tatih, satu demi satu persaingan yang berat harus
dihadapinya. Termasuk persaingan yang luar biasa adalah justru
tatkala ia harus berhadapan dengan Hillary Clinton, istri mantan
Presiden Bill Clinton yang sudah begitu dikenal.

Jutaan pasang mata bisa melihat bagaimana proses perdebatan yang
sengit terjadi di antara mereka, dan Obama menjadi Presiden bukannya
dengan jalan yang mulus. Namun, itulah proses perjuangan yang
ditunjukkan seorang Barack Obama.

Berbicara tentang hal ini, Greg Anderson, seorang penulis dari
Amerika dan pendiri American Wellness Project pernah berujar, “Focus
on the journey, not the destination. Joy is found not in finishing
an activity but in doing it.” Sungguh tepat!

Karena itu, kita pun perlu berfokus pada proses pencapaian setiap
visi, impian dan cita – cita kita, sesulit apa pun! Dan mulai
menikmati proses dalam pencapaiannya. Herannya, tatkala kita betul-
betul menikmatinya, suatu ketika kita akan merasa bahwa, tanpa
disadari ternyata kita sudah bisa meraih apa yang kita angan-
angankan.

Ketiga, seorang yang berani bermimpi mencari alasan untuk bertindak,
sedangkan seorang pemimpi mencari alasan untuk mengeluh.

Seorang yang benar – benar berani bermimpi, memfokuskan diri kepada
tindakan – tindakan yang makin mengarahkan kepada mimpinya.

Sebagai seorang yang pernah berkerja sama dan menggunakan
metode ‘agitasi emosi’-nya Paul Allinski, Barack Obama banyak
meletakkan dirinya pada situasi ketika ia betul-betul ‘marah’ pada
kondisinya sekarang untuk memaksanya mengambil tindakan. Itulah yang
diajarkan oleh Obama.

Tatkala kita tidak puas dengan kondisi sekarang dan mengharapkan
yang lebih baik, janganlah mengeluh tetapi berbuatlah sesuatu yang
mampu mewujudkan kondisi yang lebih baik. Fokus Obama hanya satu,
yaitu bertindak untuk mencapai apa yang menjadi impiannya. Bagaimana
dengan Anda? Lebih banyak berkeluh kesah atau bertindak?

Keempat, seorang yang berani bermimpi selalu mengambil inisiatif,
sedangkan orang yang hanya bermimpi selalu menunggu.

Seorang pemimpi punya kecenderungan menunggu. Entah menunggu waktu
baik, hari baik, kesempatan lebih baik, peluang lebih baik, rekan
yang baik, tempat yang baik, dan hal baik lainnya yang selalu
menjadi prekondisi untuk mewujudkan impiannya.

Hal ini kontradiktif sekali dengan orang yang benar – benar berani
bermimpi. Dalam kondisi atau situasi apa pun, orang ini selalu
mengambil inisiatif. Apa yang belum ada, maka dia akan berusaha
keras untuk mencari atau bahkan menciptakannya.

Perhatikan Barack Obama, kelahiran 1961, yang tidak menunggu
lantaran usianya yang relatif muda sebagai politisi. Bandingkan
dengan Obama yang tidak menunggu kesempatan datang, selalu mengejar
bahkan menciptakan peluang. Termasuk saat Obama berusaha bergabung
dengan Sidley and Austin law firms di mana ia bertemu dengan
Michelle pertama kali, sekaligus kesempatannya untuk bertemu dengan
para top leader.

Akhirnya, kelima, seorang yang berani bermimpi selalu menganggap
bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi,
sedangkan seorang pemimpi menganggap bahwa yang terjadi adalah
tanggung jawab orang lain.

Kualitas terakhir inilah yang menjadi penentu antara seorang yang
sekadar pemimpi dengan yang berani bermimpi. Mereka yang berani
bermimpi, punya respons yang benar atas apa pun yang terjadi.

Pada saat terjadi kesalahan ataupun kekeliruan, diri mereka tidak
mencari ‘kambing hitam’ untuk dipersalahkan, tetapi selalu belajar
dari pengalaman itu.

Mulai saat ini, marilah menjadikan diri kita sebagai Dare dreamer
bukan hanya seorang day dreamer!

Ngomong-ngomong, tahukah Anda buku pertama yang ditulis Barack Obama
yang sebagian besar diselesaikan di Bali, berhubungan juga dengan
mimpi yakni, “Dreams from My Father”! Barack Obama adalah dare
dreamer sejati!

Sumber: Dare Dreamer atau Day Dreamer? oleh Anthony Dio Martin

Dare dreamer atau day dreamer

Dare Dreamer atau Day Dreamer?

“Happy are those who dream dreams and are ready to pay the price to
make them come true.” – Leon Joseph Cardinal Suenens

Baru-baru ini, saya menyaksikan tayangan biografi Presiden Amerika
Serikat yang baru terpilih, Barack Hussein Obama. Menilik perjalanan
hidupnya, sangat sulit terbayangkan bagaimana anak yang ditinggal
oleh ayah kandungnya sejak kecil dan sempat berpindah tempat
tinggal, termasuk pernah tinggal di Indonesia ini, akhirnya menjadi
orang nomor satu di negara adidaya Amerika Serikat.

Dengan darah campuran antara ibu kulit putih dan ayah keturunan
Afrika, membuatnya sempat mengalami kebingungan identitas. Bahkan,
pada usia awalnya, Obama sempat berkenalan dengan narkoba. Namun,
segalanya mulai berubah tatkala ia diterima di Harvard Law School
dan mulai melihat titik terang dalam hidupnya.

Mulailah Obama berani bermimpi, setahap demi setahap. Mulai dari
masuk ke Kongres, menjadi senator hingga menjadi presiden. Sebuah
perjalanan yang hanya bisa dilewati dengan berpegang teguh pada
mimpinya. Pada diri Barack Obamalah, kita melihat bagaimana pidato
Martin Luther King yang terkenal, “I have a dream”, betul-betul
terwujud!

Daring dream atau day dream?

Sudah begitu banyak buku, seminar, artikel yang mengajarkan kepada
kita soal pentingnya menetapkan sebuah impian. Namun, pertanyaan-nya
yang terpenting sekarang: apakah yang kita miliki sekadar mimpi (day
dream) atau itu merupakan mimpi berani yang harus dicapai (daring
dream)?

Dalam pembelajaran selama hidup ini, dari buku – buku yang saya
baca, seminar yang penah saya ikuti, termasuk belajar dari kisah
hidup Barack Obama, saya mendefinisikan ada lima perbedaan kualitas
antara yang berani bermimpi (daring dream) dan sekadar bermimpi (day
dream).

Pertama, orang yang berani bermimpi menggantungkan kepada disiplin
diri untuk meraihnya, sedangkan seorang pemimpi menggantungkan
kepada keberuntungan.

Seorang yang berani bermimpi, umumnya punya disiplin yang kuat untuk
merealisasikan mimpinya.

Ambil contoh Barack Obama, tatkala kalah dari Bobby Rush dalam
pemilihan Partai Demokrat untuk US House of Representative pada
2000, dia tidak menyerah dan masih setia mewujudkan mimpi-mimpinya.
Dengan kepala tegak dan penuh disiplin, Barack Obama tetap
melanjutkan perjuangan prinsip-prinsipnya. Itulah salah satu
disiplin mewujudkan mimpi yang ditunjukkan Barack Obama.

Dalam hal ini, benarlah apa yang dikatakan motivator dunia, Jim Rohn
bahwa, “Discipline is the bridge between goals and accomplishment. “
Jelas, hanya kedisiplinanlah yang menjadi kunci atau jembatan untuk
merealisasikan setiap mimpi kita.

Kedua, pribadi yang berani bermimpi tetap terfokus pada proses
pencapaian, sedangkan pemimpi selalu terfokus kepada tujuan akhir
saja, serta enggan melewati prosesnya.

Lihatlah Barack Obama. Ia memulai proses menjadi kandidat presiden
dengan tertatih-tatih, satu demi satu persaingan yang berat harus
dihadapinya. Termasuk persaingan yang luar biasa adalah justru
tatkala ia harus berhadapan dengan Hillary Clinton, istri mantan
Presiden Bill Clinton yang sudah begitu dikenal.

Jutaan pasang mata bisa melihat bagaimana proses perdebatan yang
sengit terjadi di antara mereka, dan Obama menjadi Presiden bukannya
dengan jalan yang mulus. Namun, itulah proses perjuangan yang
ditunjukkan seorang Barack Obama.

Berbicara tentang hal ini, Greg Anderson, seorang penulis dari
Amerika dan pendiri American Wellness Project pernah berujar, “Focus
on the journey, not the destination. Joy is found not in finishing
an activity but in doing it.” Sungguh tepat!

Karena itu, kita pun perlu berfokus pada proses pencapaian setiap
visi, impian dan cita – cita kita, sesulit apa pun! Dan mulai
menikmati proses dalam pencapaiannya. Herannya, tatkala kita betul-
betul menikmatinya, suatu ketika kita akan merasa bahwa, tanpa
disadari ternyata kita sudah bisa meraih apa yang kita angan-
angankan.

Ketiga, seorang yang berani bermimpi mencari alasan untuk bertindak,
sedangkan seorang pemimpi mencari alasan untuk mengeluh.

Seorang yang benar – benar berani bermimpi, memfokuskan diri kepada
tindakan – tindakan yang makin mengarahkan kepada mimpinya.

Sebagai seorang yang pernah berkerja sama dan menggunakan
metode ‘agitasi emosi’-nya Paul Allinski, Barack Obama banyak
meletakkan dirinya pada situasi ketika ia betul-betul ‘marah’ pada
kondisinya sekarang untuk memaksanya mengambil tindakan. Itulah yang
diajarkan oleh Obama.

Tatkala kita tidak puas dengan kondisi sekarang dan mengharapkan
yang lebih baik, janganlah mengeluh tetapi berbuatlah sesuatu yang
mampu mewujudkan kondisi yang lebih baik. Fokus Obama hanya satu,
yaitu bertindak untuk mencapai apa yang menjadi impiannya. Bagaimana
dengan Anda? Lebih banyak berkeluh kesah atau bertindak?

Keempat, seorang yang berani bermimpi selalu mengambil inisiatif,
sedangkan orang yang hanya bermimpi selalu menunggu.

Seorang pemimpi punya kecenderungan menunggu. Entah menunggu waktu
baik, hari baik, kesempatan lebih baik, peluang lebih baik, rekan
yang baik, tempat yang baik, dan hal baik lainnya yang selalu
menjadi prekondisi untuk mewujudkan impiannya.

Hal ini kontradiktif sekali dengan orang yang benar – benar berani
bermimpi. Dalam kondisi atau situasi apa pun, orang ini selalu
mengambil inisiatif. Apa yang belum ada, maka dia akan berusaha
keras untuk mencari atau bahkan menciptakannya.

Perhatikan Barack Obama, kelahiran 1961, yang tidak menunggu
lantaran usianya yang relatif muda sebagai politisi. Bandingkan
dengan Obama yang tidak menunggu kesempatan datang, selalu mengejar
bahkan menciptakan peluang. Termasuk saat Obama berusaha bergabung
dengan Sidley and Austin law firms di mana ia bertemu dengan
Michelle pertama kali, sekaligus kesempatannya untuk bertemu dengan
para top leader.

Akhirnya, kelima, seorang yang berani bermimpi selalu menganggap
bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi,
sedangkan seorang pemimpi menganggap bahwa yang terjadi adalah
tanggung jawab orang lain.

Kualitas terakhir inilah yang menjadi penentu antara seorang yang
sekadar pemimpi dengan yang berani bermimpi. Mereka yang berani
bermimpi, punya respons yang benar atas apa pun yang terjadi.

Pada saat terjadi kesalahan ataupun kekeliruan, diri mereka tidak
mencari ‘kambing hitam’ untuk dipersalahkan, tetapi selalu belajar
dari pengalaman itu.

Mulai saat ini, marilah menjadikan diri kita sebagai Dare dreamer
bukan hanya seorang day dreamer!

Ngomong-ngomong, tahukah Anda buku pertama yang ditulis Barack Obama
yang sebagian besar diselesaikan di Bali, berhubungan juga dengan
mimpi yakni, “Dreams from My Father”! Barack Obama adalah dare
dreamer sejati!

Sumber: Dare Dreamer atau Day Dreamer? oleh Anthony Dio Martin

Kerja Kreatif, siapa bisa

Kreatif – 1 …berkaitan dengan atau melibatkan imajinasi atau ide-ide
orisinil, khususnya dalam memproduksi pekerjaan artistik; 2 …
kemampuan untuk menciptakan aneka gagasan, terutama dalam pikiran,
imajinasi; 3 … orang (-orang) yang menghasilkan karya-karya; dsb…

Di sekolah kehidupan kita semua adalah mahluk pekerja. Sebab dalam
artinya yang luas, makna kata “kerja” dan “pekerjaan” menunjuk ke
hampir semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia atau karya-karya
manusia itu (mesin/alat/ teknologi) . Aktivitas-aktivitas itu ada yang
bertujuan untuk memperoleh nafkah lahiriah, yang kita sebut upah,
gaji, komisi, atau uang. Ada juga aktivitas yang lebih ditujukan
untuk memperoleh nafkah mental, seperti berburu ilmu pengetahuan dan
keterampilan, baik lewat institusi formal (sekolah-akademi-
universitas yang memberi gelar, bersifat akademis) atau informal
(lembaga non-gelar, bersifat praktis), bahkan nonformal (pergaulan
di masyarakat). Tak sedikit pula aktivitas yang ditujukan untuk
mempererat tali silahturahmi, semacam nafkah sosial-emosional dalam
konteks kehidupan. Dan sebagian aktivitas lagi bertujuan untuk
memperoleh nafkah spiritual yang memberikan kecerahan hati,
kedamaian batin, dan ketentraman yang fundamental dalam menghadapi
badai-badai kehidupan.

Meski semua manusia adalah mahluk pekerja, namun para ahli perilaku
organisasi sering membeda-bedakan jenis pekerjaan—dalam arti karier
yang menafkahi kehidupan pekerjanya—menjadi lima kelompok besar.
Pertama, pekerjaan fungsional yang terfokus pada keahlian teknis di
bidang-bidang khusus. Inilah yang dilakukan oleh ahli mekanik,
desain grafis, pustakawan, teknisi, operator, dan sebagainya. Kedua,
pekerjaan manajerial yang terfokus pada proses analisis informasi
dan pengelolaan neka ragam sumberdaya, termasuk memimpin manusia.
Pekerja di bidang manajerial ini disebut manajer, pimpinan, atau
eksekutif. Ketiga, pekerjaan entreprener yang terfokus pada upaya
menghasilkan produk/jasa baru dan/atau membangun organisasi usaha
(perusahaan) yang bertujuan mencetak laba bagi pemiliknya. Kita
menyebut kaum pekerja jenis ini sebagai pedagang, wirausaha,
pengusaha, konglomerat, atau tikon, tergantung pada skala usahanya.
Keempat, pekerjaan negara yang terfokus pada tugas-tugas
administrasi birokrasi dan pertahanan keamanan seperti pegawai
negeri dan militer, dengan jenjang yang jelas dan relatif stabil
sehinga memberikan rasa aman tertentu. Dan kelima, pekerjaan mandiri
yang terfokus pada kebebasan berkarya sesuai dengan irama atau waktu
kerja masing-masing, seperti pada peneliti, seniman, penulis lepas,
konsultan, dan sebagainya.

Banyak orang berpendapat bahwa dari kelima jenis pekerjaan tersebut
di atas, pekerjaan sebagai entreprener adalah jenis yang paling
banyak menuntut kreativitas. Sebab entreprener diharapkan untuk
melakukan inovasi dengan menghasilkan hal-hal baru yang berguna bagi
masyarakat luas atau menemukan cara-cara baru yang memberikan nilai
tambah terhadap sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Lahirnya produk-
produk legendaris seperti Aqua, Teh Sosro, Es Teller 77, Jamu Tolak
Angin, Dunia Fantasi, Kota Wisata, dan sebagainya, selalu digunakan
sebagai contoh kreativitas kaum entreprener di Indonesia. Dengan
kata lain, entreprener dianggap sebagai kaum “pekerja kreatif” di
masyarakat.

Pada sisi lain, sebagian orang melekatkan predikat “pekerja kreatif”
hanya terbatas pada praktisi industri periklanan. Terutama karena
secara eksplisit, dalam industri periklanan di kenal jabatan kunci
yang diberi label “Creative Director”. Selanjutnya, ada pula yang
mengaitkan konsep “pekerja kreatif” ini hanya terbatas kepada para
seniman, pemain teater, sastrawan, dan praktisi industri hiburan,
yang umumnya bekerja di luar kantor-kantor tradisional.

Jadi, apakah kerja kreatif itu hanya terbatas milik entreprener,
praktisi periklanan dan industri hiburan? Apakah pekerja fungsional,
pekerja manajerial, dan pekerja negara tidak perlu kreatif, cukup
mengikuti sistem dan prosedur saja?

Terus terang, dari proses pembelajaran saya di sekolah kehidupan,
saya melihat tuntutan untuk menjadi pekerja kreatif, setidaknya di
milenium ketiga ini, berlaku hampir di semua jenis pekerjaan yang
disebutkan di atas. Era kerja keras semata sudah bukan jamannya
lagi, meski sulit bagi sebagian besar orang untuk tidak bekerja
keras. Di atas kebiasaan kerja keras, perlu ditambahkan kemampuan
untuk bekerja secara cerdas, yaitu kerja kreatif.

Dalam konsep kerja keras, indikator pertama yang biasanya
dipergunakan untuk mengukur seberapa “keras” seseorang telah bekerja
adalah lamanya waktu bekerja. Misalnya, jika sebagian orang bekerja
dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam, maka ia kita sebut bekerja
keras, sebab orang kebanyakan bekerja dari jam 8/9 pagi hingga jam 5
sore saja. Atau jika orang masuk kantor di hari Sabtu, ketika kawan-
kawannya menikmati liburan akhir minggu, maka ia disebut sebagai
pekerja keras. Atau kalau ada orang yang bekerja sampai 50/60 jam
dalam seminggu, ia masuk kelompok pekerja keras karena umumnya waktu
kerja normal 40/44 jam seminggu.

Untuk mampu menjadi pekerja keras, sudah barang tentu dipersyaratkan
kondisi fisik yang prima. Orang-orang yang mudah jatuh sakit tidak
akan dikenal sebagai pekerja keras. Orang-orang yang tidak
menunjukkan disiplin dalam bekerja, juga umumnya tidak dimasukkan
dalam kategori pekerja keras. Jadi, kesehatan fisik dan disiplin
menjadi indikator kedua untuk dapat mengukur siapakah yang layak
disebut sebagai pekerja keras.

Pertanyaannya sekarang, jika pekerja keras dapat didefinisikan
dengan ukuran jumlah waktu kerja, kesehatan fisik, dan disiplin
kerja, bagaimanakah kita mengukur atau mendefinisikan “pekerja
kreatif” yang bekerja secara cerdas?

Ada orang yang menggunakan istilah “Lazy Achiever” untuk menunjuk
kepada kaum pekerja kreatif ini. Istilah ini sangat provokatif,
sebab bagaimana mungkin seorang pemalas bisa berprestasi? Namun
terlepas dari istilahnya itu, ia menawarkan konsep untuk bekerja 4-5
jam sehari dengan hasil-hasil yang sama atau bahkan lebih baik dari
orang-orang yang bekerja 9-10 jam sehari. Dengan kata lain, pekerja
kreatif adalah mereka yang bekerja dengan waktu yang lebih singkat
untuk memperoleh hasil yang sama atau lebih baik. Disamping itu,
konsep “Lazy Achiever” menunjuk kepada orang-orang yang bisa bekerja
secara mandiri atau berkolaborasi dan tidak terikat pada lokasi
kerja yang disebut kantor. Tempat kerja kaum kreatif ini bisa dimana
saja, mulai dari rumah, garasi, kafe, lobby hotel, kantin sekolah,
taman rekreasi, dan sebagainya. Dan mereka dimungkinkan untuk
bekerja dimana saja karena perlengkapan kerjanya mudah dibawa kemana-
mana (mobile working tools).

Jadi, kerja kreatif diartikan sebagai bekerja dengan waktu lebih
pendek dan fleksibel, secara mandiri atau berkolaborasi, di lokasi
kerja yang juga fleksibel, dengan hasil-hasil yang berkualitas
tinggi. Untuk itu tidak saja diperlukan fisik yang sehat dan
disiplin, tetapi dipersyaratkan penggunaan potensi kecerdasan
lainnya yang telah dikembangkan secara memadai.

Dengan pemahaman seperti di atas, muncul pandangan bahwa kerja keras
adalah fondasi yang perlu, tetapi tidak akan membawa seseorang
kepada kehidupan yang berkualitas. Kerja keras merupakan persyaratan
yang diperlukan, tetapi tidak mencukupi (necessary but not
sufficient condition) untuk menikmati kehidupan yang berkualitas dan
penuh makna. Dan kerja keras hanya menarik jika kita masih dalam
rentang usia 20-40 tahun. Setelah lewat usia 40 tahun, kita
seharusnya telah mampu bekerja secara cerdas, menjadi pekerja
kreatif, yang memberi makna pada hidup yang fana. Demikiankah?

Tabik Mahardika!

Sumber: Kerja Kreatif, Siapa Bisa? oleh Andrias Harefa, Penulis 30
Buku Laris dan Pendiri WRITERSCHOOL

Kerja kreatif, siapa bisa

Kreatif – 1 …berkaitan dengan atau melibatkan imajinasi atau ide-ide
orisinil, khususnya dalam memproduksi pekerjaan artistik; 2 …
kemampuan untuk menciptakan aneka gagasan, terutama dalam pikiran,
imajinasi; 3 … orang (-orang) yang menghasilkan karya-karya; dsb…

Di sekolah kehidupan kita semua adalah mahluk pekerja. Sebab dalam
artinya yang luas, makna kata “kerja” dan “pekerjaan” menunjuk ke
hampir semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia atau karya-karya
manusia itu (mesin/alat/ teknologi) . Aktivitas-aktivitas itu ada yang
bertujuan untuk memperoleh nafkah lahiriah, yang kita sebut upah,
gaji, komisi, atau uang. Ada juga aktivitas yang lebih ditujukan
untuk memperoleh nafkah mental, seperti berburu ilmu pengetahuan dan
keterampilan, baik lewat institusi formal (sekolah-akademi-
universitas yang memberi gelar, bersifat akademis) atau informal
(lembaga non-gelar, bersifat praktis), bahkan nonformal (pergaulan
di masyarakat). Tak sedikit pula aktivitas yang ditujukan untuk
mempererat tali silahturahmi, semacam nafkah sosial-emosional dalam
konteks kehidupan. Dan sebagian aktivitas lagi bertujuan untuk
memperoleh nafkah spiritual yang memberikan kecerahan hati,
kedamaian batin, dan ketentraman yang fundamental dalam menghadapi
badai-badai kehidupan.

Meski semua manusia adalah mahluk pekerja, namun para ahli perilaku
organisasi sering membeda-bedakan jenis pekerjaan—dalam arti karier
yang menafkahi kehidupan pekerjanya—menjadi lima kelompok besar.
Pertama, pekerjaan fungsional yang terfokus pada keahlian teknis di
bidang-bidang khusus. Inilah yang dilakukan oleh ahli mekanik,
desain grafis, pustakawan, teknisi, operator, dan sebagainya. Kedua,
pekerjaan manajerial yang terfokus pada proses analisis informasi
dan pengelolaan neka ragam sumberdaya, termasuk memimpin manusia.
Pekerja di bidang manajerial ini disebut manajer, pimpinan, atau
eksekutif. Ketiga, pekerjaan entreprener yang terfokus pada upaya
menghasilkan produk/jasa baru dan/atau membangun organisasi usaha
(perusahaan) yang bertujuan mencetak laba bagi pemiliknya. Kita
menyebut kaum pekerja jenis ini sebagai pedagang, wirausaha,
pengusaha, konglomerat, atau tikon, tergantung pada skala usahanya.
Keempat, pekerjaan negara yang terfokus pada tugas-tugas
administrasi birokrasi dan pertahanan keamanan seperti pegawai
negeri dan militer, dengan jenjang yang jelas dan relatif stabil
sehinga memberikan rasa aman tertentu. Dan kelima, pekerjaan mandiri
yang terfokus pada kebebasan berkarya sesuai dengan irama atau waktu
kerja masing-masing, seperti pada peneliti, seniman, penulis lepas,
konsultan, dan sebagainya.

Banyak orang berpendapat bahwa dari kelima jenis pekerjaan tersebut
di atas, pekerjaan sebagai entreprener adalah jenis yang paling
banyak menuntut kreativitas. Sebab entreprener diharapkan untuk
melakukan inovasi dengan menghasilkan hal-hal baru yang berguna bagi
masyarakat luas atau menemukan cara-cara baru yang memberikan nilai
tambah terhadap sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Lahirnya produk-
produk legendaris seperti Aqua, Teh Sosro, Es Teller 77, Jamu Tolak
Angin, Dunia Fantasi, Kota Wisata, dan sebagainya, selalu digunakan
sebagai contoh kreativitas kaum entreprener di Indonesia. Dengan
kata lain, entreprener dianggap sebagai kaum “pekerja kreatif” di
masyarakat.

Pada sisi lain, sebagian orang melekatkan predikat “pekerja kreatif”
hanya terbatas pada praktisi industri periklanan. Terutama karena
secara eksplisit, dalam industri periklanan di kenal jabatan kunci
yang diberi label “Creative Director”. Selanjutnya, ada pula yang
mengaitkan konsep “pekerja kreatif” ini hanya terbatas kepada para
seniman, pemain teater, sastrawan, dan praktisi industri hiburan,
yang umumnya bekerja di luar kantor-kantor tradisional.

Jadi, apakah kerja kreatif itu hanya terbatas milik entreprener,
praktisi periklanan dan industri hiburan? Apakah pekerja fungsional,
pekerja manajerial, dan pekerja negara tidak perlu kreatif, cukup
mengikuti sistem dan prosedur saja?

Terus terang, dari proses pembelajaran saya di sekolah kehidupan,
saya melihat tuntutan untuk menjadi pekerja kreatif, setidaknya di
milenium ketiga ini, berlaku hampir di semua jenis pekerjaan yang
disebutkan di atas. Era kerja keras semata sudah bukan jamannya
lagi, meski sulit bagi sebagian besar orang untuk tidak bekerja
keras. Di atas kebiasaan kerja keras, perlu ditambahkan kemampuan
untuk bekerja secara cerdas, yaitu kerja kreatif.

Dalam konsep kerja keras, indikator pertama yang biasanya
dipergunakan untuk mengukur seberapa “keras” seseorang telah bekerja
adalah lamanya waktu bekerja. Misalnya, jika sebagian orang bekerja
dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam, maka ia kita sebut bekerja
keras, sebab orang kebanyakan bekerja dari jam 8/9 pagi hingga jam 5
sore saja. Atau jika orang masuk kantor di hari Sabtu, ketika kawan-
kawannya menikmati liburan akhir minggu, maka ia disebut sebagai
pekerja keras. Atau kalau ada orang yang bekerja sampai 50/60 jam
dalam seminggu, ia masuk kelompok pekerja keras karena umumnya waktu
kerja normal 40/44 jam seminggu.

Untuk mampu menjadi pekerja keras, sudah barang tentu dipersyaratkan
kondisi fisik yang prima. Orang-orang yang mudah jatuh sakit tidak
akan dikenal sebagai pekerja keras. Orang-orang yang tidak
menunjukkan disiplin dalam bekerja, juga umumnya tidak dimasukkan
dalam kategori pekerja keras. Jadi, kesehatan fisik dan disiplin
menjadi indikator kedua untuk dapat mengukur siapakah yang layak
disebut sebagai pekerja keras.

Pertanyaannya sekarang, jika pekerja keras dapat didefinisikan
dengan ukuran jumlah waktu kerja, kesehatan fisik, dan disiplin
kerja, bagaimanakah kita mengukur atau mendefinisikan “pekerja
kreatif” yang bekerja secara cerdas?

Ada orang yang menggunakan istilah “Lazy Achiever” untuk menunjuk
kepada kaum pekerja kreatif ini. Istilah ini sangat provokatif,
sebab bagaimana mungkin seorang pemalas bisa berprestasi? Namun
terlepas dari istilahnya itu, ia menawarkan konsep untuk bekerja 4-5
jam sehari dengan hasil-hasil yang sama atau bahkan lebih baik dari
orang-orang yang bekerja 9-10 jam sehari. Dengan kata lain, pekerja
kreatif adalah mereka yang bekerja dengan waktu yang lebih singkat
untuk memperoleh hasil yang sama atau lebih baik. Disamping itu,
konsep “Lazy Achiever” menunjuk kepada orang-orang yang bisa bekerja
secara mandiri atau berkolaborasi dan tidak terikat pada lokasi
kerja yang disebut kantor. Tempat kerja kaum kreatif ini bisa dimana
saja, mulai dari rumah, garasi, kafe, lobby hotel, kantin sekolah,
taman rekreasi, dan sebagainya. Dan mereka dimungkinkan untuk
bekerja dimana saja karena perlengkapan kerjanya mudah dibawa kemana-
mana (mobile working tools).

Jadi, kerja kreatif diartikan sebagai bekerja dengan waktu lebih
pendek dan fleksibel, secara mandiri atau berkolaborasi, di lokasi
kerja yang juga fleksibel, dengan hasil-hasil yang berkualitas
tinggi. Untuk itu tidak saja diperlukan fisik yang sehat dan
disiplin, tetapi dipersyaratkan penggunaan potensi kecerdasan
lainnya yang telah dikembangkan secara memadai.

Dengan pemahaman seperti di atas, muncul pandangan bahwa kerja keras
adalah fondasi yang perlu, tetapi tidak akan membawa seseorang
kepada kehidupan yang berkualitas. Kerja keras merupakan persyaratan
yang diperlukan, tetapi tidak mencukupi (necessary but not
sufficient condition) untuk menikmati kehidupan yang berkualitas dan
penuh makna. Dan kerja keras hanya menarik jika kita masih dalam
rentang usia 20-40 tahun. Setelah lewat usia 40 tahun, kita
seharusnya telah mampu bekerja secara cerdas, menjadi pekerja
kreatif, yang memberi makna pada hidup yang fana. Demikiankah?

Tabik Mahardika!

Sumber: Kerja Kreatif, Siapa Bisa? oleh Andrias Harefa, Penulis 30
Buku Laris dan Pendiri WRITERSCHOOL

Menuai kritik, menjawab kritik

”Anda dapat menuliskan apa saja, tapi hanya dengan menerima kritik, maka dunia akan tahu bahwa Anda dapat menulis lebih baik lagi.”
— Oliver Goldsmith, penulis dan penyair, 1730-1774

KUPING jadi merah. Mata terasa panas. Hati pun mendidih. Itulah gejala saat kritik mengena. Seperti pukulan uppercut mengenai ulu hati. Tak enak rasanya. Hasilnya ada dua: kembali bangkit dan membenahi semua kekurangan seperti yang dilontarkan dalam kritik. Atau sebaliknya, ada yang langsung lunglai, lemas bagaikan tak bersendi. Ya, suatu kritik, pedas atau tidak, ternyata tak semua orang dapat mengelolanya dengan baik.

Itulah efek dari kritik. Semua tergantung pada orang yang menerima kritik itu. Telinga yang tidak sensitif bisa membuat segalanya berantakan. Sekadar menyebut contoh, mengenai apa yang dilakukan pelatih sepak bola Steve McClaren. Pelatih Tim Inggris tersebut berkali-kali diberi masukan, saran, dan pendapat, namun toh dia tetap dablek. Hasilnya, Inggris knock out. Tersisih dari ajang Piala Eropa tahun 2008. Akibatnya? Seluruh rakyat Inggris menangis.

Sebaliknya, Raymond Domenech, pelatih sepak bola Prancis begitu meresapi kritik yang berhamburan ke arahnya. Tim Ayam Jantan asuhannya dikritik tak memiliki kepemimpinan di lapangan hijau. Kritik itu ditindaklanjutinya. Dia pun memanggil kembali Zinedine Zidane, pemain gaek. Hasilnya sungguh memukau, Tim Perancis melaju hingga final Piala Dunia 2006 di Jerman.

Mari kita kembali ke dunia nyata. Kritik bukanlah hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Bos yang selalu memaksakan kehendak tanpa mau menerima masukan dari karyawan, Pemda yang tak mampu mengatasi banjir yang terjadi dari tahun ke tahun, atau Walikota yang tak juga mampu membenahi jalan yang bopeng, patutlah disembur kritik. Tujuannya tentulah mulia, untuk mengubah keadaaan menjadi lebih baik. Itulah maksud dan tujuan sesungguhnya dari sebuah kritik.

Apa saja yang di depan mata bisa menjadi bahan kritik. Sampah yang menumpuk, kemacetan di jalan, dan semua hal yang terlihat atau terdengar. Kritik seperti kripik, renyah dan enak dikunyah, meski belum tentu orang lain bisa menerimanya. Apapun kritik dan entah dengan cara bagaimanapun kritik itu sampai hingga ke telinga, haruslah disikapi dengan bijak.

Bagaimana kalau kita sendiri yang mendapat kritik? Belum tentu kita menerima dengan lapang dada. Seorang pembuat film di negeri ini shock ketika karyanya dibantai habis oleh seorang wartawan di media massa. Upaya yang dibuat berhari-hari, bahkan berminggu-minggu akhirnya kandas di tangan seorang kritikus. Salahkah dia kalau kemudian mutung? Wajar saja. Namun, seperti mendapatkan pujian, menerima kritik merupakan bagian lain dari suatu hasil karya. Seperti setelah membuat kue, kita tinggal menunggu ocehan orang: enak atau bikin muntah.

Jadi, apa pun tindakan dan perbuatan yang kita lakukan, sudah semestinya akan disertai dengan pendapat pro atau kontra. Masalahnya, bagaimana kita bisa mengelola kritik itu menjadi suatu penuntun untuk mencapai hasil yang lebih baik atau malah sebaliknya bikin kita tengkurap dan ogah bangun lagi.

Seburuk apa pun kritik yang sampai ke telinga kita, semestinya disikapi dengan dua hal. Kritik merupakan bagian dari satu upaya penyempurnaan. Dan, ini yang juga penting, rasa sayang dari orang-orang sekitar kita. Mereka atau entah siapapun itu orangnya, ingin kita bisa bertindak lebih baik, lebih baik, dan lebih baik lagi. Tak usah sempurna: tapi paling tidak bisa mendekati sesuai dengan kritik yang mereka sampaikan.

Kritik merupakan bagian dari proses belajar agar seseorang menjadi bertanggung jawab atas tindakan dan ucapannya. Kualitas hidup seseorang pada akhirnya juga ditentukan bagaimana ia menanggapi kritik tersebut. Karena ia menyadari, bahwa dengan kritik itulah, ia dapat memperbaiki kualitas hidupnya menjadi lebih baik. Menyerap kritik yang disampaikan pihak lain, membuat kita juga bisa memberikan kritik di lain hari pada orang lain dengan jalan yang lebih elegan, dan tentunya, membawa kebaikan untuk semua. Semoga. (241108)

Sumber: Menuai Kritik, Menjawab Kritik oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta

Menuai Kritik, Menjawab Kritik

”Anda dapat menuliskan apa saja, tapi hanya dengan menerima kritik, maka dunia akan tahu bahwa Anda dapat menulis lebih baik lagi.”
— Oliver Goldsmith, penulis dan penyair, 1730-1774

KUPING jadi merah. Mata terasa panas. Hati pun mendidih. Itulah gejala saat kritik mengena. Seperti pukulan uppercut mengenai ulu hati. Tak enak rasanya. Hasilnya ada dua: kembali bangkit dan membenahi semua kekurangan seperti yang dilontarkan dalam kritik. Atau sebaliknya, ada yang langsung lunglai, lemas bagaikan tak bersendi. Ya, suatu kritik, pedas atau tidak, ternyata tak semua orang dapat mengelolanya dengan baik.

Itulah efek dari kritik. Semua tergantung pada orang yang menerima kritik itu. Telinga yang tidak sensitif bisa membuat segalanya berantakan. Sekadar menyebut contoh, mengenai apa yang dilakukan pelatih sepak bola Steve McClaren. Pelatih Tim Inggris tersebut berkali-kali diberi masukan, saran, dan pendapat, namun toh dia tetap dablek. Hasilnya, Inggris knock out. Tersisih dari ajang Piala Eropa tahun 2008. Akibatnya? Seluruh rakyat Inggris menangis.

Sebaliknya, Raymond Domenech, pelatih sepak bola Prancis begitu meresapi kritik yang berhamburan ke arahnya. Tim Ayam Jantan asuhannya dikritik tak memiliki kepemimpinan di lapangan hijau. Kritik itu ditindaklanjutinya. Dia pun memanggil kembali Zinedine Zidane, pemain gaek. Hasilnya sungguh memukau, Tim Perancis melaju hingga final Piala Dunia 2006 di Jerman.

Mari kita kembali ke dunia nyata. Kritik bukanlah hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Bos yang selalu memaksakan kehendak tanpa mau menerima masukan dari karyawan, Pemda yang tak mampu mengatasi banjir yang terjadi dari tahun ke tahun, atau Walikota yang tak juga mampu membenahi jalan yang bopeng, patutlah disembur kritik. Tujuannya tentulah mulia, untuk mengubah keadaaan menjadi lebih baik. Itulah maksud dan tujuan sesungguhnya dari sebuah kritik.

Apa saja yang di depan mata bisa menjadi bahan kritik. Sampah yang menumpuk, kemacetan di jalan, dan semua hal yang terlihat atau terdengar. Kritik seperti kripik, renyah dan enak dikunyah, meski belum tentu orang lain bisa menerimanya. Apapun kritik dan entah dengan cara bagaimanapun kritik itu sampai hingga ke telinga, haruslah disikapi dengan bijak.

Bagaimana kalau kita sendiri yang mendapat kritik? Belum tentu kita menerima dengan lapang dada. Seorang pembuat film di negeri ini shock ketika karyanya dibantai habis oleh seorang wartawan di media massa. Upaya yang dibuat berhari-hari, bahkan berminggu-minggu akhirnya kandas di tangan seorang kritikus. Salahkah dia kalau kemudian mutung? Wajar saja. Namun, seperti mendapatkan pujian, menerima kritik merupakan bagian lain dari suatu hasil karya. Seperti setelah membuat kue, kita tinggal menunggu ocehan orang: enak atau bikin muntah.

Jadi, apa pun tindakan dan perbuatan yang kita lakukan, sudah semestinya akan disertai dengan pendapat pro atau kontra. Masalahnya, bagaimana kita bisa mengelola kritik itu menjadi suatu penuntun untuk mencapai hasil yang lebih baik atau malah sebaliknya bikin kita tengkurap dan ogah bangun lagi.

Seburuk apa pun kritik yang sampai ke telinga kita, semestinya disikapi dengan dua hal. Kritik merupakan bagian dari satu upaya penyempurnaan. Dan, ini yang juga penting, rasa sayang dari orang-orang sekitar kita. Mereka atau entah siapapun itu orangnya, ingin kita bisa bertindak lebih baik, lebih baik, dan lebih baik lagi. Tak usah sempurna: tapi paling tidak bisa mendekati sesuai dengan kritik yang mereka sampaikan.

Kritik merupakan bagian dari proses belajar agar seseorang menjadi bertanggung jawab atas tindakan dan ucapannya. Kualitas hidup seseorang pada akhirnya juga ditentukan bagaimana ia menanggapi kritik tersebut. Karena ia menyadari, bahwa dengan kritik itulah, ia dapat memperbaiki kualitas hidupnya menjadi lebih baik. Menyerap kritik yang disampaikan pihak lain, membuat kita juga bisa memberikan kritik di lain hari pada orang lain dengan jalan yang lebih elegan, dan tentunya, membawa kebaikan untuk semua. Semoga. (241108)

Sumber: Menuai Kritik, Menjawab Kritik oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta