Sebuah Tulisan di Fb : Yiks
Semoga bermanfaat.
KOREA SELATAN: KEMAJUAN BERBASIS KEBUDAYAAN
Oleh Anwari WMK
Pengantar
Selama sepekan (3-10 Maret 2012) saya tercatat sebagai salah seorang peserta yang diundang oleh Korean Tourism Organization (KTO) dan Yayasan Kyungsung Indonesia untuk berkunjung menuju beberapa kawasan di Korea Selatan, yaitu Seoul, Paju City (Gyeonggi), Ulsan dan Busan. Sekali pun rombongan yang berangkat dari Jakarta sepenuhnya diperlakukan sebagai turis, saya berusaha menelisik dimensi-dimensi kultural Korea Selatan yang penting untuk dijadikan catatan kebudayaan. Berikut ini catatan tersebut.
Edukasi Internasional
Saat berkunjung ke Kyung Hee University di Seoul, ada catatan menarik dalam kaitannya dengan kebudayaan Korea Selatan. Di universitas yang berdiri pada tahun 1949 itu terdapat Institute of International Education (IIE). Dari sekian banyak program studi, tampak menonjol bahwa IIE sengaja dirancang sebagai faktor penting dari keberadaan Kyung Hee University di Korea Selatan, bahkan di dunia internasional.
Sebagai bagian dari Kyung Hee University, institusi IIE sendiri dibentuk pada tahun 1993 atau setelah Kyung Hee University berusia 44 tahun. Dengan mengusung motto “Creating a Civilized World”, IIE berupaya menumbuh kembangkan apa yang disebut “warga masyarakat global” dengan menerima kehadiran mahasiswa dari berbagai penjuru dunia. Pada kelembagaan IIE itulah termaktub Program Bahasa dan Kebudayaan Korea. Kini, jumlah mahasiswa Program Bahasa dan Kebudayaan Korea di bawah pengelolaan IIE mencapai lebih dari 6.000 orang. Bahkan, program Bahasa dan Kebudayaan Korea itu telah meluluskan 25.000 mahasiswa yang berasal dari 81 negara di dunia.
Apa sebenarnya filosofi yang melandasi keberadaan Program Bahasa dan Kebudayaan Korea itu? Mengapa Program Bahasa dan Kebudayaan Korea justru masuk ke dalam cakupan IIE?
Menurut Profesor Su Hui Kim, Program Bahasa dan Kebudayaan Korea dewasa ini memfokuskan perhatian untuk lebih banyak menerima mahasiswa asing. Semakin besar jumlah mahasiswa asing belajar Program Bahasa dan Kebudayaan Korea, maka semakin bermakna pula keberadaan IIE.
Memang, di IIE juga terdapat Program Studi Bahasa Jepang, Bahasa China dan Inggris. Baik warga Korea Selatan maupun warga asing terbuka untuk belajar Program Studi Bahasa Jepang, Bahasa China dan Inggris di IIE. Hanya saja, satatus “edukasi internasional” yang melekat dengan jati diri IIE justru ditekankan untuk memperkuat keberadaan Program Bahasa dan Kebudayaan Korea.
IIE tercatat sebagai institusi pendidikan terbaik di Korea Selatan dalam kaitannya dengan bahasa dan kebudayaan. Dengan membuka Program Bahasa dan Kebudayaan Korea, IIE diperhitungkan kedudukannya sebagai institusi pendidikan tinggi di Korea Selatan. Itulah mengapa keberadaan IIE akan terus diperhatikan oleh Kyung Hee University.
Apa yang penting digarisbawahi dari keberadaan Program Bahasa dan Kebudayaan Korea IIE adalah makna edukasi internasional dalam sistem pendidikan yang dikembangkan. Aspek pokok dari kata “edukasi internasional” tersebut adalah kehadiran mahasiswa dari berbagai negara di dunia. Semakin banyak jumlah mahasiswa asing yang terdaftar di Program Bahasa dan Kebudayaan Korea IIE, maka semakin jelas pula makna edukasi internasional dari keberadaannya Program Bahasa dan Kebudayaan Korea IIE.
Konsepsi pendidikan semacam ini menarik untuk digarisbawahi. Sebab dengan demikian berarti, latar belakang keberadaan mahasiswa [dari berbagai negara di dunia] justru diposisikan sebagai variable penentu keberadaan institusi pendidikan yang dideklarasikan bertaraf internasional. Sedangkan substansi dari pendidikan tersebut justru bahasa dan kebudayaan Korea. IIE dalam konteks ini tidak terjebak ke dalam reduksi makna edukasi internasional.
Dalam konteks persoalan yang lain di Indonesia, misalnya, edukasi bertaraf internasional cenderung direduksi maknanya hanya dalam kaitannya dengan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Cara pandang semacam ini tidak mengubah keadaan secara berarti. Sebab memang, bukan terutama pada aspek penggunaan Bahasa Inggris sebuah institusi pendidikan disebut berwatak edukasi internasional. Di atas segalanya, justru kehadiran peserta didik dari banyak negara yang dijadikan dasar untuk menyebut adanya edukasi berwatak internasional.
Dalam dimensi yang lebih luas, Program Bahasa dan Kebudayaan Korea IIE justru menciptakan titik temu kesadaran berbudaya di kalangan peserta didik. Bayangkan ribuan mahasiswa dari berbagai negara di dunia berada dalam kesamaan spektrum untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan Korea. Langsung maupun tak langsung, bahasa dan kebudayaan Korea diletakkan sebagai faktor penentu terjadinya titik temu kesadaran berbudaya kalangan mahasiswa dari banyak negara di dunia.
Konsepsi pendidikan semacam ini melahirkan kalangan terpelajar dengan tingkat penguasaan yang memadai terhadap bahasa dan kebudayaaan Korea, sementara individu-individu kalangan terpelajar itu tersebar ke berbagai negara di dunia. Karena itu tak berlebihan pula jika dikatakan, bahwa melalui Program Bahasa dan Kebudayaan Korea IIE itu, maka Kyung Hee University meletakkan suatu dasar berpijak terciptanya kepemimpinan untuk masa depan kehidupan dunia.
Pelajaran paling penting di sini ialah edukasi berwatak internasional yang dikembangkan oleh sebuah institusi pendidikan tinggi tidak harus meninggalkan modal kultural nasional suatu negara-bangsa.
Industri Berbasis Kebudayaan
Kota Ulsan di Korea Selatan kini mencorong ke seluruh dunia sebagai tempat berdirinya Hyundai Motor Group. Saat berkunjung ke perusahaan otomotif tersebut, saya mendapatkan penjelasan ihwal sejarah berdirinya serta filosofi keberadaannya yang bertahan hingga hari ini. Saya juga melihat salah satu paberik pembuatan mobil Hyundai, yang beroperasi layaknya sistem ban berjalan. Di paberik ini ratusan orang bekerja berdasarkan spesialisasi penanganan satu aspek dari setiap unit mobil yang sedang diproduksi.
Industri otomotif Hyundai di Ulsan ini penting disorot untuk melihat keterkaitan antara keutuhan proses industri dengan kebudayaan. Hyundai mempertontonkan pola kerja kompleks industrial menyangkut keseluruhan proses manufakturing produk otomotif hingga ekspor produk akhir ke mancanegara. Bahkan, di kompleks industri Hyundai terdapat pelabuhan yang secara khusus berfungsi menunjang kelancaran ekspor mobil Hyundai ke mancanegara.
Sebagai perusahaan otomotif, Hyundai berdiri pada tahum 1967. Lebih dari satu dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1976, Hyundai merilis Hyundai Pony. Itulah produk pertama Hyundai yang kemudian dikenal luas sebagai “mobil pertama berselera Korea”. Pada 1986, untuk pertama kalinya Hyundai mengekspor mobil ke mancanegara. Perkembangan selanjutnya ditandai oleh munculnya produk-produk bertajuk Elantra (2000), Verna (2001), EF Sonata (2001) EF Sonata II (2004), Sonata (2005), Elantra (2006), j30 (2007), Coupe (2008), Veracruz (2008), Accent Sport (2008), j30cw (2008), Azera (2008), j20 (2008), Genesis (2008), Getz (2008), Genesis Coupe (2008), Centennial (2009), Sonata (2010), Elantra (2010), Accent (2010) dan Azera (2011).
Apa yang penting dicatat dari munculnya produk-produk tersebut adalah dua hal. Pertama, Hyundai merupakan korporasi yang berdiri di garda depan sejarah perkembanagn industri otomotif Korea Selatan. Segenap narasi sejarah berkenaan dengan industri otomotif Korea Selatan menempatkan Hyundai pada posisi penting dan menentukan.
Kedua, berbagai macam produk otomotif Hyundai hadir sebagai konsekuensi logis tatkala Hyundai mengukuhkan dirinya sebagai industri manufaktur yang diperhitungkan di dunia. Mobil “Genesis”, misalnya, merupakan produk Hyundai yang banyak diminati konsumen Amerika Serikat. Kemampuan menembus pasar global menjadi indikator bagi Hyundai meraih keunggulan dalam kompetisi produk-produk otomotif yang pemasarannya berskala global.
Kehebatan Hyundai dengan demikian, harus ditelisik berdasarkan dua faktor sekaligus. Pada satu sisi, Hyundai mendeterminasi perkembangan historis industri otomotif Korea Selatan. Pada lain sisi, produk otomotif Hyundai diterima kehadirannya oleh pasar global. Dua hal ini saling berkesinambungan satu sama lain. Kemampuan berdiri di garda depan industri otomatif pada tingkat nasional Korea Selatan lalu dilanjutkan dengan kemampuan menembus dunia internasional. Dalam perjalanan historisnya, Hyundai memperlihatkan terjadinya proses evolusi yang niscaya ditempuh oleh sebuah perusahaan otomotif.
Pada keseluruhan fase perkembangan Hyundai, tahun 2010 tercatat sebagai kurun waktu yang menentukan. Chairman dan CEO Hyundai Moong-koo Chung menyebut tahun 2010 sebagai “a year of new challenges”. Itu karena, tahun 2010 ditandai oleh kemerosotan perekonomian America Serikat yang berdampak buruk bagi perekonomian dunia. Namun justru dalam situasi penuh tantangan semacam itu, selama 2010 Hyundai mencatat kemajuan menakjubkan, yaitu mampu mengekspor produk-produknya ke mancanegara hingga mencapai 3,61 juta unit mobil. Berdasarkan kenyataan ini pula Hyundai berada pada peringkat 65 dari 100 perusahaan terbaik dunia.
Di pasar otomotif China, Rusia dan Amerika Serikat, Hyundai mengukuhkan kehadirannya. Penjualan yang berarti di China merupakan keberhasilan menembus pasar otomotif terbesar dunia. Sebagai wujud nyata untuk memperkuat produksi global dan struktur penjualan, Hyundai membangun paberik pembuatan mobil di Rusia. Di Amerika Serikat, untuk pertama kalinya pada 2010 penjualan mobil Hyundai menembus angka rekor 500 ribu unit mobil, sehinga mendapatkan perhatian luas dari kalangan media massa berpengaruh di Negeri Paman Sam itu.
Kedahsyatan Hyundai dewasa ini tercermin dalam pernyataan Moong-koo Chung, bahwa Hyundai Motor Group sengaja menciptakan struktur industrial yang terintegrasi secara kuat dari hulu ke hilir. Bahkan seperti telah disebutkan di atas, Hyundai di Ulsan memiliki pelabuhan tersendiri untuk memperlancar ekspor produk-produknya ke seluruh dunia. Kata Moong-koo Chung, “Pasar dunia berubah dengan sangat cepat. Korporasi-korporasi yang gagal beradaptasi dengan perubahan cepat itu bakal bergeser dari sebelumnya sebagai pemenang menjadi pihak yang terkalahkan.” Maka, perubahan secara inovatif Hyundai ditandai oleh terciptanya struktur industrial yang terintegrasi secara kuat dari hulu ke hilir.
Kini, Hyundai Motor Group mengusung perspektif “New Thinking. New Possibilities.” Perspektif tersebut dapat dimengerti sebagai “new ideas create new values” dalam konteks penggunaan energi ramah lingkungan. Dengan upayanya yang tak kenal lelah sejak kurun waktu berdirinya hingga kini, Hyundai telah meletakkan satu format industrial berbasis kebudayaan. Sehingga, eksistensi Hyundai ditandai oleh apa yang disebut “the new beginning of modern premium” dengan aspek-aspeknya seperti berikut:
~ Gagasan-gagasan kecil dikembangkan justru untuk meruntuhkan paradigma lama. Kemunculan teknologi yang sederhana dimengerti sebagai lahirnya kebaruan yang belum pernah ada sebelumnya.
~ Inovasi Hyundai kini hingga ke masa depan mengusung nilai-nilai baru persis sebagaimana dituntut masyarakat konsumen.
~ Hyundai terus-menerus berupaya dekat dengan publik konsumen, sehingga dikembangkan tradisi industrial untuk menghasilkan produk-produk estetik yang sepenuhnya mencerminkan keindahan cita rasa manusia.
Maka, berbahagialah Korea Selatan, memiliki perusahaan semacam Hyundai. Inilah perusahaan yang tak hanya paham arti keuntungan. Di atas segalanya, Hyundai mengadopsi nilai-nilai kultural masyarakat Korea yang ulet dan dikenal sebagai pekerja keras menghadapi tantangan kehidupan.
Antara Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
Di Busan, Korea Selatan, Kyungsung University merupakan salah satu institusi pendidikan tinggi terkemuka, berdiri sejak 1955. Kini, universitas dengan 13 ribu lebih mahasiswa itu keberadaannya dikaitkan dengan renaisan pendidikan menjawab tantangan masa depan. Menurut Dae Sung Kim, Chairman Kyungsung University, tantangan masa depan harus dijawab oleh dunia pendidikan tinggi melalui apa yang disebut “cinta dan pelayanan”. Terutama setelah usia Kyungsung University mencapai lebih dari 50 tahun, maka “cinta dan pelayanan” itu merupakan upaya tiada akhir. Sebab memang, hanya dengan “cinta dan pelayanan” Kyungsung University memiliki landasan filosofi menjawab tantangan masa depan.
Sejalan pula dengan makin menguatnya kehadiran masyarakat informasi, pendidikan tinggi dituntut mampu melakukan berbagai upaya kreatif dalam bidang riset. Pendidikan tinggi tidak boleh mandeg ke dalam serangkaian tindakan monoton serba mekanis. Itulah mengapa, kata Dae Sung Kim, mutu sebuah institusi pendidikan tinggi mustahil semata ditakar dengan hanya berdasarkan kemegahan secara fisik. Tetapi bagaimana segenap elemen pendidikan tinggi memiliki kesamaan spirit dan cita-cita menciptakan kualitas. Maka, keberadaan civitas akademika jauh lebih penting dibandingkan dengan kemegahan bangunan gedung.
Kesadaran para pengelola Kyungsung University menjawab tantangan masa depan penting digarisbawahi sebagai catatan kebudayaan. Sebab dengan demikian berarti, proses-proses pendidikan mengandung hakikat kerja-kerja kebudayaan. Menurut Soo Geun Sung, Presiden Kyungsung University, dibutuhkan transformasi berkesinambungan demi menjawab perubahan-perubahan besar dalam hubungannya dengan tantangan masa depan. Hanya melalui transformasi berkesinambungan itulah Kyungsung University, kata Soo Geun Sung, mampu menentukan berbagai determinasi yang relevan dengan kehidupan masa depan. Dengan juga berpijak pada transformasi berkesinambungan maka Kyungsung University menggedor masa depan melalui keterbukaan pikiran dan kreativitas.
Kyungsung University didirikan oleh tokoh Kristen Korea Dr. Kim Gil-Chang pada tahun 1955. Semula, Kim Gill-Chang mendirikan Kyungnam Teacher’s College. Pada 1979, Kyungnam Teacher’s College berubah menjadi Pusan Industrial University. Pembangunan fasilitas pendidikan tinggi dimulai sejak 1979 itu. Pada 1988 Pusan Industrial University berubah menjadi Kyungsung University
Perubahan yang terjadi pada 1988 itu memiliki makna yang sangat penting. Sejak saat itu, Kyungsung University berproses memasuki etape baru menjadi universitas berskala internasional. Kyungsung University berupaya melakukan proses-proses pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer Korea maupun masyarakat kontemporer dunia. Dengan mengukuhkan eksistensinya sebagai universitas berskala internasional, Kyungsung University berupaya mewujudkan apa yang dinarasikan sebagai “adhering education system to make student dream come true”. Tak mengherankan jika kemudiaan kelas internasional di Kyungsung University ditandai oleh hadirnya mahasiswa asing dari berbagai negara di dunia.
Di Kyungsung University kini, terdapat 10 undergraduate colleges, yaitu: Liberal Art, Law and Politics, Commers and Economics, Science, Engineering, Pharmacy, Art, Theology, Multimedia, Chinese. Baik mahasiswa lokal Korea maupun mahasiswa asing terbuka untuk belajar pada salah satu dari 10 colleges tersebut.
Saat tiba di kampus Kyungsung University, saya mendapatkan pemahaman berkenaan dengan dua hal.
Pertama, Kyungsung University ternyata memiliki Museum Burung. Didukung oleh pakar-pakar biologi, Museum Burung ini merupakan salah satu ikon penentu keberadaan Kyungsung University di Busan. Pemerintah dan masyarakat di Busan mendukung keberadaan museum tersebut, dengan menyerahkan burung-burung yang ditemukan mati untuk kemudian diawetkan di Museum Burung Kyungsung University. Di museum ini 270 spesimen burung dari berbagai kawasan di dunia diawetkan serta tersedia 70 telor burung. Di samping itu, terdapat beberapa sangkar burung yang ditemukan di kawasan Korea.
Kedua, di Kyungsung University terdapat museum sejarah dan kebudayaan Dinasti Kaya. Begitu pentingnya museum ini, sampai-sampai disebut secara khusus sebagai “University Museum”. Di museum ini dipamerkan artefak-artefak masa lalu Dinasti Kaya. Baik artefak peralatan perang maupun peralatan kehidupan sehari-hari dipamerkan di museum ini. Kyungsung University dalam konteks ini melakukan upaya saksama merawat ingatan ihwal masa lampau Dinasti Kaya.
Menyimak keberadaan dua museum ini saya sampai pada kesimpulan, bahwa Museum Burung maupun University Museum merupakan simbol adanya saling kaitan antara ilmu dan kebudayaan. Kyungsung University melakukan upaya-upaya sadar agar ilmu pengetahuan dan kebudayaan berada dalam titik perlakuan sederajat untuk ditelaah secara saksama sebagai aspek penting merawat dinamika akademis.
Dengan Museum Burung, Kyungsung University bukan saja berpeluang menambah cadangan ilmu pengetahuan di seputar kehidupan hewan unggas. Lebih dari itu, Kyungsung University bisa memperluas wawasan tentang perubahan perilaku burung sejalan dengan timbulnya perubahan-perubahan ekologis. Apalagi seperti dewasa ini, ornetologi [ilmu pengetahuan tentang burung] merupakan salah satu faktor yang berperan penting untuk mengetahui secara lebih mendalam seluk beluk pemanasan global.
Melalui museum sejarah Suku Kaya, Kyungsung University termotivasi untuk terus melakukan pengkajian terhadap pola-pola kebudayaan di masa lampau. Pencarian makna terhadap kehidupan masa lampau dalam kaitannya dengan kebudayaan di masa kini, dapat ditemukan secara lebih mudah melalui interpretasi dan reinterpretasi terhadap artefak-artefak kebudayaan Suku Kaya. Bagaimana pun, manusia adalah mahluk historis, sekali pun hidup di masa kini. Itulah mengapa, tak ada prakarsa baru hari ini yang terlepas dari dialektika kehidupan di masa lalu. Dengan menyimak artefak demi artefak yang tersaji dalam museum ini, Kyungsung University sesungguhnya membangun pemahaman tentang kehidupan di masa kini yang berjalin kelindan dengan kehidupan masa lampau.
Begitulah eksistensi Kyungsung University di Busan, Korea Selatan.[]
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.